Saya hanya seorang yang menginginkan dapat terlibat dalam kemunculan Al Imam Mahdi afs..... dan menjadi hambasahayanya yang siap berkorban demi tegak nya syiar Islam yang gemilang ini
Musuh-musuh Islam yang memiliki tujuan memecah belah umat Islam, berusaha menggambarkan Syi’ah sebagai sebuah aliran yang berasal dari Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang memeluk Islam selama pemerintahan Utsman bin Affan, khalifah ketiga. Mereka menyatakan lebih jauh bahwa Abdullah bin Saba melakukan perjalanan ke kota-kota dan desa-desa umat Islam, dari Damaskus hingga ke Kufnli lalu ke Mesir, menyebarkan berita di kalangan umat Islam bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus Nabi Muhammad SAW. la menghasut umat Islam untuk membunuh Utsman karena ia meyakini bahwa Utsman telah menduduki jabatan Ali. la juga menciptakan keonaran di pasukan Ali dan musuhnya pada perang Unta. la juga bertanggung jawab atas semua gagasan-gagasan Syi’ah selanjutnya. Penulis sewaan ini mepkini U.ilmw nbdullnh bin Saba adalah pendiri mazhab Syi’ah, dan karena ia sendiria adalah orang munafik dan menulis berita bohong, maka semuailmu dan keyakinan Syi’ah juga tidak benar. Sebenarnya, Abdullah bin Saba adalah kambing hitam yang tepatuntuk semua klaim orang – orang Sunni.
Ketika Keberadaan sesorang bernama Abdullah bin Saba di awalsejarah sejarah Islam sangat dipertanyakan, hal yang jelas setelah dilakukan penelitian mengenai hal ini adalah bahwa meskipun seorang Ielaki miskin dengan nama seperti itu mungkin pernah ada pada zaman itu, cerita yang disebarkan tentang orang ini merupakan legenda, cerita bohong, dibuat-buat, dan fiksi, dan tidak ada bukti tentang kebenaran kisah-kisah tentangnya. Atas izin Allah, kami akan membahas poin ini di pembahasan berikut ini.
Cerita-cerita bohong seputar tokoh Abdullah bin Saba merupakan hasil karya keji seseorang bernama Saif bin Umar Tamimi. la adalah pengarang, yang hidup di abad kedua setelah Hijrah. la mengarang cerita ini berdasarkan beberapa fakta utama yang ia temukan dalam sejarah Islam yang ada saat itu. Saif menulis sebuah novel yang tidak berbeda dengan novel Satanic Verses karangan Salman Rushdi dengan motif yang serupa, tetapi dengan perbedaan bahwa peranan setan dalam bukunya diberikan kepada Abdullah bin Saba.
Saif bin Umar mengubah biografi beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW untuk menyenangkan pemerintah yang berkuasa saat itu, dan menyimpangkan sejarah Syi’ah serta mengolok-olok Islam. Saif adalah seorang pengikut setia Bani Umayah, salah satu musuh besar Ahlulbait di sepanjang sejarah, dan niat utamanya mengarang cerita-cerita seperti itu adalah untuk merendahkan Syi’ah. Dalam cerita karangannya, ia mengejar banyak tujuan lain, yang salah satunya adalah mengangkat kedudukan sukunya atas suku lain dengan menciptakan sahabat-sahabat imajiner dari sukunya. Tetapi banyak ulama Sunni menemukan banyak bid’ah dalam riwayatnya yang tidak hanya terbatas pada persoalan Abdullah bin Saba, dan karena itu mereka mengabaikan riwayatnya, dan menuduhnya-sebagai seorang pendusta dan pemfitnah. Tetapi, hasil karya Saif mendapat dukungan sebagian kelompok Sunni hingga saat ini. Di bagian selanjutnya, kami akan mengetengahkan ucapan-ucapan ulama-ulama Sunni terkemuka, yang membenarkan bahwa Saif bin Umar adalah orang yang tidak dapat dipercaya dan ceritanya dusta.
Telaah ideologi menunjukkan bahwa sebagianbesar orang yang membenci mahzab pemikiranSyi’ah (banyak dari mereka adalah musuh – musuh Islam) mendasarkanrasa kebencianmereka padabid’ah ini yang mereka ekspoitir untuk mendukung seranganmereka kepada Syi’ah. Pendekatanini sama sepertiyang dilakukan Saif bin Umar sendiri.
Asal Muasal Cerita Abdullah bin Saba
Cerita Abdullah bin Saba berusia lebih dari dua belas abad lamanya. Parasejarahwan dan penulis mencatatnya, dan memberi tambahan kepada cerita tersebut.
Sekilas melihat rangkaian perawi dari cerita ini, anda akan temukan nama Saif berada di situ. Beberapa sejarahwan berikut ini mencatat cerita tersebut dari Saif secara langsung:
- Thabari.
-Dzahabi, ia juga menyebutkan dari Thabari (1).
-Ibmi Abu Bakir, ia juga mencatatnya dari Ibnu Atsir (15), yang mencatat dari Thabari (1).
-Ibnu Asakir.
Berikut ini sejarahwan yang tidak secara langsung mencatat dari Saif:
-Nicholson dari Thabari (1).
-Ensiklopedi Islam karya Thabari (1)
-Van Floton dari Thabari (1)
-Wellhauzen dari T’habari (1).
-Mirkhand dari Thabari (1).
-Ahmad Amin dari Thabari (1), dan dari Wellhauzen (8).
-Farid Wajdi dari Thabari (1).
-Hasan Ibrahim dari Thabari (1).
-Said Afghani dari Thabari (1), dan dari ibnu Abu Rakir (3),
-Ibnu Asakir (4), dan Ibnu Bardan (21).
-Ibnu Khaldun dari Thabari (1).
-Ibnu Atsir dari Thabari (1).
-Ibnu Katsir dari Thabari (1).
-Danaldson dari Nicholson (5), dan dari ensiklopedia (6).
-Ghiathuddin dari Mirkhand (9).
-Abu Fida dari Ibnu Atsir (15).
-Rasyid Ridha dari Ibnu Atsir (15).
-Ibnu Bardan dari Ibnu Asakir (4).
-Bustani dari Ibnu Katsir (16).
Daftar di atas menunjukkan bukti bahwa cerita-cerita bohong seputar sifat Abdullah bin Saba dimulai dari Saif dan dikutip oleh Thabari secara langsung dari buku Saif sebagaimana yang diungkapkan Thabari sendiri.’ Olah karena itu, tokoh Saif dan sejarahnya harus ditelaah dan dianalisis dengan sangat teliti.
Siapakah Saif ?
Saif bin Umar Dzabbi Usaidi Tamimi hidup pada abad II/VIII dan meninggal setelah tahun 170/750. Dzahabi berkata bahwa Saif meninggal ketika Harun Rasyid memerintah di Baghdad (Iraq). Selama hidupnya, Saif menulis dua buku berikut ini pada masa pemerintahan Umayah; 1) Al-Futuh wa ar-Riddah, yang merupakan sejarah periode sebelum wafatnya Nabi Muhammad SAW hingga khalifah ketiga, Utsman, menjadi pemimpin dunia Islam; 2) Al-Jamal wa Masiri Aisyah wa Ali, yang merupakan sejarah dari pembunuhan Utsman hingga perang Jamal (perang antara Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW). Buku-buku tersebut sekarang sudah tidak ada namun sempat bertahan beberapa abad setelah masa hidupnya Saif. Berdasarkan temuan ini, orang terakhir yang menyatakan bahwa ia memiliki buku Saif adalah Ibnu Hajar Asqalani (852 H).
Kedua buku ini lebih banyak berisi cerita fiksi, bukan kebenaran, cerita-cerita yang dibuat-buat, dan beberapa peristiwa yang benar, yang secara sengaja dicatat dengan cara yang mengolok-olok.
Karena Saif berbicara tentang beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW dan juga menciptakan sahabat-aahabat Nabi dengan nama yang aneh, ceritanya telah mempengaruhi sejarah Islam masa awal. Beberapa ahli biografi seperti penulis Ushul Ghabah, Isti’ab dan Ishabah dan ahli geografi seperti penulis buku Mu jam al-Buldare dan ar-Rawz al-Mi’tar teloh menulis beberapa kisah hidup beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW, dan menyebutkan tempat-tempat yang hanya terdapat di buku karangan Saif. Karena itu, kehidupan dan tokoh Saif serta kredibilitasnya harus ditelaah secara teliti.
Pendapat Kaum Sunni Mengenai Saif
Beberapa ulama terkemuka Sunni berikut ini membenarkan bahwa Saif bin Umar terkenal sebagai seorang pendusta dan orang yang tidak dapat dipercaya:
Hakim (405 H) menulis, “Saif adalah seorang ahli bid’ah. Riwayatnya harus diabaikan.”
Nasa’i (303 H) menulis, “Riwayat yang disampaikan Saif lemah dan riwayat tersebut harus diabaikan karena tidak dapat dipercaya dan tidak berdasar.”
Yahya bin Muin (233 H) menulis, “Riwayat Saif lemah dan tidak berdasar.”
Abu Hatam (277 H) menulis, “Hadis yang diriwayatkan Saif harus ditolak.”
Ibnu Abu Hatam (327) menulis, “Para ulama telah mengabaikan riwayat yang disampaikan Saif .”
Abu Daud (316 H) menulis, “Saif bukan seorang yang dapat dipercaya. la adalah seorang pembohong. Beberapa hadis yang ia sampaikan sebagian besarnya tertolak.”
Ibnu Habban (354 H) menulis, “Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi-perawi yang sahih. la dianggap sebagai seorang pebid’ah dan pembohong.”
Ibnu Abdul Barr (462 H) menyebutkan dalam tulisannya tentangQa’fa ; “ Saifmeriwayatkan bahwa Qa`qa berkata, ‘Aku menghadiri kematian Nabi Muhammad.”‘ Ibnu Abdul Barr melanjutkan “ Ibnu Abu Hatam berkata, ‘Riwayat Saif lemah. Oleh karenanya, apa yang disampnikam tentang keberadaan Qa’qa pada wafatnya Nabi Muhammad ditolak. Kami menyebutkan hadis-hadis Saif hanya untuk diketahui saja.”‘
Darqufii (385 H) menulis, “Riwayat yang disampaikan Saif lemah.” Firuzabadi (817 H) menulis dalam buku Tawalif tentang Saif dan beberapa orang lainnya bahwa riwayat yang mereka sampaikan lemah. Ibnu Sakan (353 H) menulis, “Riwayat Saif lemah.”
Safuddin (923 H) menulis, “Riwayat yang disampaikan Saif dianggap lemah.”
Ibnu Udai (365 H) menulis tentang Saif, “Riwayat yang ia sampaikan lemah. Beberapa riwayatnya terkenal tetapi sebagian besar dari riwayat itu lemah dan tidak digunakan.”
Suyuthi (900 H) menulis, “Hadis yang disampaikan Saif lemah.” Ibnu Hajar Asqalani (852 H) menulis setelah ia menyebut sebuah hadis, “Banyak perawi hadis ini lemah dan yang paling lemah di antara mereka adalah Saif.”
Menarik untuk kita perhatikan bahwa meskipun Dzahabi (748 H) telah mengutip dari Saif dalam buku sejarahnya, ia menyebutkan di bukunya yang lain bahwa Saif adalah perawi yang lemah. Dalam buku al-Mughni fi al-Dhu’afa, Dzahabi menulis, “Saif memiliki dua buku yang berdasarkan kesepakatan telah diabaikan oleh para ulama.”‘
Hasil dari penyelidikan tentang kehidupan Saif menunjukkan bahwa Saif adalah seorang yang tidak beragama dan pengarang yang tidak dapat dipercaya. Cerita yang dikisahkan olehnya diragukan dan secara keseluruhan atau sebagiannya palsu. Dalam cerita-ceritanya, in menggunakan nama-nama kota yang tidak pernah ada di dunia ini. Abdullah bin Saba adalah kebohongan utama dari cerita-ceritanya. Ia juga mengenalkan 150 sahabat nabi imajiner untuk meluaskan tokoh-tokvh ciptaannya, dengan memberi nama-nama yang aneh pada mereka yang tidak ditemukan di dokumen manapun. Selain itu, waktu kejadian yang diberikan pada riwayat Saif bertolak belakangdengan dokumen HadisSunni yang sahih. Saif jugamenggunakan rangkaian perawi palsudan meriwayatkan banyak peristiwa-peristiwa ajaib (seperti sapi yangberbicara denganmanusia dan lain-lain).
Beberapa pendukung Saif berpendapat bahwa meskipun Sail Hianggap sebagai seorang perawi hadis yang lemah dan banyak udama hadis tidak mempercayai riwayatnya, hal tersebut hanya terdapat di wacano syariat, dan bukan di wacana sejarah.
Dengan pendapat tersebut, mereka ingin mendasarkan cerita ‘sejarah’ tentang seseorang yang dianggap pembohong dan zindiq. Apabila permasalahan tentang Saif hanyalah kurangnya ilmu syariat, kita dapat katakan bahwa ia dapat dipercaya dalam hal lainnya. Tetapi, persoalannya adalah Saif adalah seorang pembohong dan membuat banyak kepalsuan dengan mengarang kejadian dan merujuk hadis palsu pada perawi yang sahih. Oleh karenanya, orang seperti itu patut dipertanyakan untuk semua hal. Mengenai catatan sejarahnya, kita akan lihat pada bagian ke lima bahwa bahkan para sejarahwan Nasrani telah membenarkan ketidakkonsistenan antara riwayat sejarahnya dengan perawi-perawi yang benar lainnya. Di sini tidak perlu disebutkan pendapat Sunni dan Syi’ah tentang Saif yang ahli bid’ah.
Cerita Tentang Abdullah bin Saba Yang Tidak Memiliki Sanad Dari Perawi Manapun
Ada beberapa riwayat dari ulama Syi’ah dan Sunni yang mengambil beberapa bait tentang Abdullah bin Saba dari sejarahwan dan penulis budaya kuno, tetapi hal itu tidak memberi bukti apapun untuk pernyataan mereka. Mereka juga tidak memberikan isnad yang mendukung unhik riwayat mereka untuk diperiksa.
Contohnya, riwayat mereka dimulai dengan kalimat, “Beberapa cara, berkata demikian dan demikian...”, atau “beberapa ulama berkata ini dan itu..” tanpa menyebutkan nama ulama tersebut, dan dari mana mereka mendapatkan riwayat tersebut. Riwayat tersebut berdasarkanpada rumoryang dipropagandakan oleh Umayahyang dipropagandakan oleh Umayah (meniru karya Saif) yang sampai pada mereka, dan beberapa riwayat lain yang didasarkan pada kreativitas pengarang cerita. Hal ini disimpulkan ketika kami melihat penulis-penulis ini meriwayatkan beberapa legenda yang jelas-jelas palsu dan tidak masuk akal. Riwayat-riwayat ini diberikan oleh orang-orang yang menulis buku tentang al-Milal wa an-Nihal (cerita tentang peradaban dan kebudayaan) atau buku al-Firaq (perpecahan/aliran-aliran).
Di antara kaum Sunni yang menyebutkan nama Abdullah bin Saba dalam cerita mereka tanpa memberikan sumber klaim mereka adalah: Ali bin Isma’il Asyari (330) dalam bukunya yang berjudul Maqalat al-Islamiyyin (esai mengenai masyarakat Islam).
Abdul Qahir bin Thahir Baghdadi (429) dalam bukunya yang berjudul al-Farq Bain al-Firaq (perbedaan di antara aliran-aliran).
Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani (548) dalam bukunya yang berjudul al-Milal wa an-Nihal (Negara dan Kebudayaan).
Perawi-perawi Sunni di atas, tidak memberi sumber atau sanad cerita mereka mengenai Abdullah bin Saba. Mereka saling berlomba untuk menambahjumlah aliran dalam Islam dengan nama-nama yang aneh seperti al-Kawusiyyah, at-Tayyarah, al-Mamturah, al-Gharabiyyah, al-Ma’lumiyyah, al-Majhuliyyah dan banyak lagi tanpa memberi sumber manapun atau referensi bagi klaim mereka. Karena hidup di abad pertengahan, para penulis ini beranggapan bahwa menulis kisah-kisah aneh dan merujukkan peristiwa yang tidak realistis kepada negara-negara Islam akan membuat mereka semakin terkenal daripada para pesaing lain dalam hal ini. Dan dengan demikian, mereka menyebabkan penyimpangan yang besar pada sejarah Islam dan telah berbuat kejahatan keji terhadap apa yang telah mereka rujukkan secara salah kepada negara-negara Islam.
Beberapa dari mereka menceritakan legenda yang tak masuk akal dan cerita fiksi yang kesalahannya mudah untuk dikenali saat ini, meskipun bagi mereka tidak mustahil untuk menyalahartikan cerita-cerita tersebut sebagai sejarah di masa itu. Contohnya, Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa anNihal menyebutkan bahwa ada sekelompok makhluk setengah manusia bernama an-Nas dengan wajah separuh, satu mata, satu tangan, dan satu kaki. Umat Islam dapat berbicara kepada makhluk-makhluk ini dan bahkan bertukar puisi. Beberapa orang Islam bahkan sering memburu mereka dan memakannya. Makhluk-makhluk ini dapat melompat lebih cepat dari pada seekor kuda dan mereka adalah pemakan rumput. Syahrastani lebih jauh menyebutkan bahwa Mutawakil, Khalifah Abbasiah, memerintahkan para ilmuwan zaman itu untuk menyelidiki makhluk-makhluk ini.
Masyarakat pada zaman itu tidak memiliki peralatan modern yang dapat memudahkan mereka menemukan kesalahan cerita-cerita dan dongeng bohong ini, dan mungkin mereka lebih suka cerita yang lebih panjang dan aneh yang nampak menunjukkan kebenaran cerita tersebut, meskipun cerita tersebut tidak memiliki referensi.
Selain itu, berdasarkan telaah kronologis zaman ketika para penulis itu hidup, kita dapat menyimpulkan bahwa semua penulis itu hidup lama setelah zaman Saif bin Umar, dan bahkan setelah Thabari. Dengan demikian, sangat memungkinkan bahwa mereka semua mendapatkan cerita tentang Abdullah bin Saba dari Saif. Klaim ini menjadi lebih kuat ketika diteliti bahwa tidak ada satu orang pun dari mereka menyebutkan sumber riwayat mereka yang mungkin karena skandal Saif bin Umar dikenal oleh setiap orang saat itu dan mereka tidak ingin mendiskreditkan buku mereka dengan menyebutkan sumbernya. Selain itu, tidak ada dokumen manapun yang menuliskan tentang Abdullah bin Saba sebelum Saif. Para ulama atau sejarahwan yang hidup sebelum Saif bin Umar tidak pernah menyebut nama Abdullah bin Saba di buku-buku mereka. Hal ini menunjukkan bahwa apabila Ibnu Saba pernah ada, maka ia bukanlah seorang yang penting bagi mereka sebelum Saif membuatnya menjadi penting. Hal ini juga merupakan alasan lain untuk meyakini bahwa apa yang disebarluaskan seputar tokoh Abdullah bin Saba diawali oleh propaganda besar Saif bin Umar Tamimi.
Di antara perawi Syi’ah yang menyebutkan nama Abdullah bin Saba tanpa memberi keterangan mengenai sumbernya adalah dua sejarahwan berikut ini:
Sa’d bin Abdullah Asy’ari Qummi (301) dalam bukunya al-Mmlalul wal-Firaq menyebut sebuah riwayat di mana terdapat nama Abdullah bin Saba. Tetapi ia tidak menyebut sanadnya dan juga tidak menyebut dari siapa (atau dari buku mana) ia mendapat cerita tersebut dan apa sumbernya. Selain itu Asy’ari Qummi telah meriwayatkan banyak hadis dari sumber Sunni. Najasyi (450) dalam bukunya ar-Rijal berkata bahwa Asy’ari Qummi mengembara ke banyak tempat dan terkenal dengan hubungannya dengan sejarahwan Sunni dan banyak mendengar cerita dari mereka. la menulis banyak riwayat lemah dari apa yang ia dengar, salah satunya adalah cerita tentang Abdullah bin Saba, tanpa memberi referensi.
Hasan bin Musa Naubakhti (310), seorang sejarahwan Syi’ah yang menuliskan sebuah riwayat dalam bukunya al-Firaq tentang nama Abdullah bin Saba. Tetapi ia tidak pernah menyebut dari mana ia mendapat riwayat tersebut serta sumbernya.
Kedua orang ini merupakan orang Syi’ah yang memberi beberapa keterangan tentang keberadaan seorang lelaki terkutuk bernama Abdullah bin Saba pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Perhatikanlah bahwa semuanya meriwayatkan keterangan ini lama setelah zaman Saif bin Umar dan bahkan setelah Thabari menulis sejarahnya. Dengan demikian mereka mungkin mendapat informasi dari Saif atau orang yang mengutip darinya seperti Thabari. Hal ini menjadi lebih mungkin ketika kita lihat bahwa mereka menulis kalimat “Beberapa Qrang berkata demikian dan demikian...” tanpa memberi isnad atau nama ‘orang-orang’ tersebut.
Riwayat Mengenai Abdullah bin Saba yang Tidak Diriwayatkan Melalui Saif bin Umar
Kami harus menunjukkan bahwa meskipun ada kurang dari empat belas riwayat yang terdapat dalam koleksi hadis Syi’ah dan Sunni yang menyebut nama Abdullah bin Saba, dan disokong oleh rangkaian sanad, tetapi dalam sanad mereka nama Saif tidak muncul.
Di Syi`ah, Khusyi atau al-Kusysyi, juga disingkat dengan nama Kosli (369), menulis dalam bukunya berjudul Rijal pada tahun 340 mengenaiAbdullah bin Saba. Dalam buku tersebut ia menyebut beberapa hadis yang dalamnya muncul nama Abdullah bin Saba dari Imam Ahlulbait yang dikutip di bawah ini. Sebagaimana yang akan kita lihat, hadis ini memberi gambaran yang sangat berbeda daripada hadis Yang disebutkan oleh Saif. Tetapi, telah terbukti bagi ulama Syi’ah bahwa buku Kusysyi (Kash) memiliki banyak kesalahan, terutama dalam namn dnn juga beberapa kesalahan pada kutipan-kutipan. la banyak meriwayatkan hadis dalam bukunya ar-Rijal, dan oleh karena itu, bukunya tidak dianggap sebagai sumber Syi’ah yang dapat dipercaya. Apalagi bahwa riwayatriwayat Kusysyi (Kash) tidak ditemukan dalam empat kitab hadis utama Syi`ah. (untuk melihat penilaian kritis terhadap kesalahannya, lihatlah buku ar-Rijal karya Tustari dan Askari)
Ulama Syi`ah lain yang menyebut nama Abdullah bin Saba, Mali mengutip Kusysyi atau dua sejarahwan yang telah disebut di atas (Asy’ari Qummi dan Naubakhti yang tidak memberi sanad perawi atau sumbur untuk riwayat mereka). Di antara mereka yang mengutip Kusysyi adalah Syekh Thusi (460), Ahmad bin Thawus (673), Allamah Hilli (726), dan lain-lain.
Di Sunni, selain mereka yang mengutip dari Saif bin Umar yang namanya telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa riwayat dari Ibnv Hajar Asqalani yang memberi informasi yang sangat sama dengan aha yang telah Kusysyi berikan.
Mengenai beberapa riwayat Sunni dan Syi’ ah, kami akan menyebutkan beberapa poin’berikut.
Cerita yang diberikan oleh hadis-hadis Sunni dan Syi’ah, sanga berbeda dengan riwayat yang disebarluaskan oleh Saif bin Umar. Hadis ini menyatakan bahwa ada seorang lelaki bernama Abdullah bin Saba yang muncul pada saat pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Lelaki ini menyatakan bahwa ia adalah seorang rasul dan Ali adalah tuhan, dan segera Ali memenjarakannya setelah mendengar berita tersebut dan memintanya untuk bertobat . la tidak melakukan apa yang diperintahkan “Ali sehingga Ali memerintahkan agar ia dibakar. Hadis – hadis ini membenarkan bahwa Ali dan para keturunannya mengutuk iorang inidan menajauhkan diri mereka dari pernyataan ketuhanan tentang Ali bin Abi Thalib. Inilah cerita tersebut, dengan kondisi bahwa hadis-hadis ini pada awalnya sahih.
Beberapa hadis ini (kurang dari 14 hadis) tidak ada dalam kitab-kitab shahih manapun. Sebenarnya, tidak disebutkan nama Abdullah bin Saba dalam kumpulan (sihah) hadis shahih Sunni. Terlebih lagi, riwayat-riwayat ini tidak pernah dinyatakan sebagai riwayat yang shczhih baik oleh ulama Sunni atau Syi’ah, dan ada kemungkinan besar bahwa orang bernama Abdullah bin Saba tidak pernah ada, dan dia hanyalah karangan Saif Ibnu Umar, serupa dengan 150 saha’bat Nabi imajiner karan ;annya yang tidak pernah terdapat di riwayat yang shahih. Sekiranya Abdullah bin Saba pernah ada, Saif menggunakan tokoh ini dan merujukkan banyak peristiwa kepadanya karena tidak ada riwayat yang sama yang diriwayatkan oleh perawi Sunni lain. Tidak hanya itu, riwayat Saif sangat bertolak belakang dengan riwayat Sunni sebagaimana yang akan kami tunjukkan di bagian ini dan bagian selanjutnya. Karangan-karangan keji tentang peristiwa tersebut mudah untuk dikenali bahkan oleh ulama-ulama Sunni.
Sekarang, kami akan memberikan beberapa hadis ini yang tidak diriwayatkan oleh Saif. Riwayat ini dianggap berasal dari Abu Ja’far. la berkata, “Abdullah bin Saba sering menyatakan dirinya sebagai seorang rasul dan bahwa Amirul Mukminin, Ali, adalah Tuhan. Maha Tinggi Allah dari pernyataan seperti itu.”
Berita ini sampai pada Ali, lalu ia memanggilnya dan menanyainya. Tetapi Abdullah mengulang pernyataannya dan berkata, “Engkau adalah Dia (Tuhan), dan berita ini telah diturunkan kepadaku bahwa engkau adalah ‘Tuhan dan aku adalah seorang rasul.”
Kemudian Amirul Mukminin berkata, “Beraninya engkau berkata demikian. Setan telah mengolok-olokmu. Bertobatlah atas apa yang engkau katakan! Semoga ibumu menangisi kematianmu. Hentikanloh semua ini (pernyataanya)!” Tetapi Abdullah menolak, oleh karenanya Ali bin Abi Thalib memenjarakannya dan memintanya untuk bertobat, ia menolak. Kemudian ia dibakar dan berkata “Setan telah membawanya ke dalam khayalannya, ia sering datang kepadanya dan memasukkan pikiran seperti itu kepadanya ?”
Selain itu diriwayatkan bahwa Ali bin Husain berkata, “Semoga Allah mengutuk orang-orang yang telah berkata kebohongan tentang kami. Setiap kali aku menyebut Abdullah bin Saba , setiap kali pula rambut di tubuhku berdiri, Allah mengutuknya. Ali, atas izin Allah, adalah hamba-Nya, saudara Rasulullah SAW. la tidak mendapat kehormatan dari Allah kecuali karena ketundukannya kepada Allah dan ketaatannya kepada Rasul-Nya. Dan (hal yang sama) Rasulullah SAW tidak mendapat kehormatan dari Allah kecuali karena ketundukannya kepada-Nya.”3
Diriwayatkan bahwa Abu Abdillah berkata, “Kami adalah keluarga yang benar. Tetapi kami tidak terhindar dari seorang pendusta yang berkata kebohongan tentang kami untuk merendahkan kebenaran kami dengan kebohongannya di mata umat. Rasulullah SAW adalah orang yang paling benar di antara orang-orang dari semua yang ia katakan dan orang yang paling benar di antara umat; dan Musailamah sering berbohong tentangnya. Pemimpin orang-orang beriman adalah orang yang paling benar di antara ciptaan Allah setelah Rasulullah SAW, dan orang yang sering berkata kebohongan tentangnya, dan berusaha untuk merendahkan kebenarannya dan menyatakan kebohongan tentang Allah, adalah Abdullah bin Saba.”4
Selain itu, “Dia (Aba Abdullah, Ja’far Shadiq) mengatakan kepada sahabatnya tentang Abdullah bin Saba bahwa Abdullah bin Saha menyatakan bahwa, pemimpin orang-orang beriman, Ali bin Abi ‘I’lialih, adalah Tuhan. la berkata, “Ketika ia menyatakan demikian kepada Ali, Ali memintanya untuk bertobat tetapi ia menolak, oleh karrnanya Ali membakarnya.”5
Mengenai riwayat Sunni, beberapa riwayat dari Ibnu Hajar Asqalani memberi informasi yang sama dengan apa yang diberikan Kusysyi. Ibnu Hajar menyebutkan “Abdullah bin Saba adalah salah satu orang ekstrim (al-Ghulat), zindiq, dan orang sesat, yang membuat dirinya dibakar karena apa yang ia katakan tentang Ali.”6
Kemudian Ibnu Hajar melanjutkan, “Ibnu Asakir menyebut dalam sejarahnya bahwa Abdullah bin Saba berasal dari Yaman. la adalah orang Yahudi yang masuk Islam dan mengembara di kota-kota Islam dan mengajarkan mereka untuk tidak menaati pemimpin mereka, dan memasukkan pikiran-pikiran jahat kepada mereka. Kemudian ia masuk wilayah Damaskus untuk tujuan itu. Kemudian Ibnu Asakir menyebutkan sebuah cerita yang panjang dari buku al-Futuh karya Saif Ibnu Umar, yang tidak memiliki isnad yang benar.”7
Kemudian Ibnu Hajar memberikan sebuah hadis yang dua sanadnya tidak ada. Pada catatan kaki ia mengatakan bahwa hadis ini telah digugurkan. Berikut ini hadisnya; Ali menaiki mimbar dan berkata, “Ada apa dengannya?” Orang-orang berkata, “la menyangkal Allah dan Rasul-Nya.”8
Pada hadis yang lain, Ibnu Hajar meriwayatkan, “Ali berkata kepada Abdullah bin Saba; ‘Aku telah diberi tahu bahwa akan ada tiga puluh pendusta (yang mengaku sebagai Nabi) dan engkau adalah salah satunya.”9
la juga menulis, “Abdullah bin Saba dan pengikutnya mengakui Ali sebagai Tuhan, dan tentu saja Ali membakar mereka ketika ia menjadi khalifah.”lo
Hadis-hadis Sunni berikut ini tidak dinyatakan sebagai hadis yang shahih juga. Semua hadis-hadis ini yang diriwayatkan oleh Syi’ah dan Sunni (selain Saif ), tidak melebihi empat belas hadis. Jumlah hadis-hadis ini bahkan berkurang jika dihilangkan pengulangannya. Beberapa hadis-hadis Syi’ah berikut menyatakan bahwa:
Abdullah bin Saba muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan bukan pada masa pemerintahan Utsman sebagairnana yang diakui Saif.
Abdullah bin Saba tidak menyatakan bahwa Ali adalah penerus Nabi Muhammad SAW subagainiana yang dinyatakan Sail. la nuvnyalak.rir bahwa Ali adalah Tuhan.
Ali bin Abi Thalib membakarnya beserta para ekstrimis lainnya (al Ghulat). Di sini Saif tidak menyatakan hal seperti itu.
Tidak disebutkan tentang keberadaannya atau peranamya pada masa kekhalifahan Utsman. Tidak disebutkan tentang agitasinya terhadap Utsman yang berakhir pada pembunuhan Utsman sebagaimana yang Saif rujukkan kepada Abdullah bin Saba;
Tidak disebutkan tentang peranan Abdullah bin Saba di Perang Unta;
Hadis-hadis ini tidak menunjukkan bahwa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang saleh mengikuti Abdullah bin Saba. Sedangkan Saif menyatakan bahwa pionir-pionir Islam yang setia seperti Abu Darr dan Ammar bin Yasir adalah murid dari Abdullah bin Saba ketika Utsman memerintah.
Sabaiah dan Beragam Tokoh Ibnu Saba
Sejak zaman pra-Islam, istilah Sabaiyah digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang berhubungan dengan Saba putra Yashjub, putra Ya’rub, putra Qahtan, sama dengan Qahtaniyah, juga dikenal sebagai Yamaniyah menujukkan tempat asal mereka, Yaman.
Kelompok ini (Sabaiyah/Qahtaniyah/Yamaniyah) berbeda dengan Adaniyah, Nazariyah dan Mudhariyah, yang digunakan untuk menunjukkan orang yang berhubungan dengan Mudhar putra Nazar, putra Adnan, Hari putra-putra Nabi Ismail as putra Nabi Ibrahim as. Ada beberapa sekutu untuk setiap suku yang berada di bawah lindungan suku tersebut, Hon kadang-kadang mereka disebut-sebut dengan nama suku tersebut.
Secara umum, akar bangsa Arab berasal dari salah satu dua suku utama ini. Ketika dua suku bergabung di Madinah untuk menciptakan sebuah masyarakat Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, orang – orang yang berhubungan dengan Qahtan dinamakan Anshar (para penolong) yang merupakan penduduk Madinah di saat itu, dan orang-orang dari Adnan beserta sekutu mereka yang berhijrah ke Mad inah, yang disebut Muhajirin.
Tokoh Abdullah bin Wahab Saba’i, pemimpin utama Khawarij (kelompok yang menentang Ali bin Abi Thalib ketika Ali menjadi khalifah, berasal dari suku pertama, Sabaiyah atau Qahtan. Karena pergesekan antara dua suku Adnan dan Qahtan semakin memanas di Madinah dan Kufah, para Adhani sering memanggil orang-orang dari suku Qahtan dengan sebutan Sabaiyah. Tetapi sebutan ini sangat bersifat sukuistis dan etnis hingga munculnya karya Saif bin Umar (dari suku Adnan) pada awal abad kedua, ketika Umayah memerintah, di Kufah. Saif memanfaatkan pergesekan suku ini dan menciptakan entitas agama mistis Sabaiyah berpemimpinkan Abdullah bin Saba.
Untuk memunculkan nama pendiri mazhab ini, Saif bin Umar mengubah nama Abdullah bin Wahab Saba menjadi Abdullah bin Saba seperti yang muncul di riwayat-riwayat Asyari, Sama’ani, dan Maqrizi, atau menciptakan cerita tersebut sekaligus namanya. Tetapi, tidak ada bukti kuat tentang keberadaan Abdullah bin Saba selama masa kekhalifahan Utsman dan Ali, kecuali Abdullah bin Wahab Saba’i yang merupakan pemimpin suku Khawarij.
Kita juga melihat bahwa istilah Saba’i dalam nama orang, yang berasal dari suku Qahtan, berakhir di Iraq, tempat asal mula cerita tersebut setelah masa itu. Penamaan tersebut berlanjut di sepanjang abad kedua dan ketiga di Yaman, Mesir, Spanyol, di mana sejumlah perawi hadis Sunni (termasuk beberapa perawi hadis dalam enam koleksi hadis Sunni) diberi nama Saba’i karena mereka memiliki keterkaitan dengan Saba bin Yashjub dan bukan dengan Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang menciptakan kekacauan menurut pernyataan Saif.
Setelah kitab sejarah Thabari dan kitab sejarah lainnya menyebarkon cerita ini di wilayah lain, nama Saba’i ada di mana-mana. Kemudian, sebutan dalam kitab-kitab sejarah tersebut digunakan untuk Menunjukkmn kelanjutan Abdullah bin Saba, meskipun mereka tidak pernah mellihat orangnya selain dari buku. Cerita tersebut berputar bertahun – tahun lamanya untuk memberikancerita tentang tokoh ini dan keyakinannya. Pada saat yang sama, ketika Abdullah bin Saba merupakan Ibnu Sauda menurut pengarangnya (Saif). Kita melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berbeda yang hidup sekitar abad ke lima, beserta beragam versi cerita lainnya.” Kita dapat membatasi versi cerita tentang tokoh abad ke lima ini menjadi tiga tokoh berikut.
Abdullah bin Wahab Saba’i, pemimpin suku Khawarij yang menentang Ali.
Abdullah bin Saba yang mendirikan suku Saba’iyah yang meyakini bahwa Ali adalah tuhan. la dan pengikutnya dibakar tak lama setelah itu. Abdullah bin Saba, yang juga terkenal dengan nama Ibnu Sauda bagi mereka yang meriwayatkan dari Saif. la adalah pendiri kelompok yang meyakini kepemimpinan Ali, dan menghasut pengikut Utsman kemudian memulai perang Jamal.
Orang pertama, secara realitas memang ada, dan beberapa ahli hadis menghubungkan Abdullah bin Saba terhadap orang ini yang merupakan pemimpin suku Khawarij. Mengenai orang kedua, ada beberapa hadis yang disebut sebelumnya tetapi hadis-hadis tersebut dianggap tidak shahih oleh semua mazhab. Orang ketiga, adalah karangan Saif yang mungkin ia ciptakan berdasarkan cerita yang ia dengar tentang orang pertama dan orang kedua, lalu melekatkan ceritanya sendiri kepada mereka.
Ibnu Saba dan Syi’ah
Kita perlu membedakan antara ulama-ulama Sunni yang meriwayatkan cerita Abdullah bin Saba (baik dari Saif seperti Thabari atau yang lain seperti Ibnu Hajar) dan ulama-ulama Sunni gadungan yangtidak hanya meriwayatkannya tetapi juga menyatakan bahwa Syi’ah adalah pengikutokoh fiksi ini. Telah terbukti bahwa ulama – ulamagadunganyang menyebutkan bahwa pendiri Syi’ah adalah Abdullah bin Saba bukanlah orang-orang Sunni. Mereka adalah pengikut sunnah keluarga Abu Sufyan dan Marwan.
Ketika ulama-ulama gadungan ini ingin membahas tentang Syi’ah,, mereka menggunakan istilah Saba’iyah untuk merendahkan ketaatan pengikut keluarga Nabi, terhadap Islam, dengan cara yang sama bahwa mereka merendahkan ketaatan sekelompok umat Islam yang terbunuh pada masa kekhalifahan Abu Bakar karena mereka mengikuti apa yang diperintahkan Rasulullah kepada mereka dalam menyebarkan zakat di kalangan orang miskin dan tidak memberikannya kepada Abu Bakar.
Para ulama gadungan ini, ketika berbicara tentang orang-orang ini, mereka mencampuradukkannya dengan masalah Musailamah yang menyatakan dirinya sebagai Nabi dan mengatasnamakan para syuhada ini padanya untuk membenarkan perbuatan mereka menumpahkan darah, menjarah kekayaan mereka dan merampas para wanita mereka. Tetapi Allah SWT akan memberi keputusan di antara mereka karena Dialah pemberi keputusan yang paling baik.
Pencampuradukkan antara kebohongan dan kebenaran seperti itu bukanlah suatu hal. yang baru bagi kita. Dalam mempersiapkan agenda mereka, mereka memanfaatkan orang-orang bodoh yang secara kebetulan beridentitaskan Islam dan yang melakukan kekezaman karena keangkaraan mereka. Selain itu, apabila mereka tidak dapat menemukan perbuatan bodoh dari umat Islam untuk menghiasi media di suatu periode, mereka membayar untuk menciptakan suatu peristiwa dan menghubungkannya kepada umat Islam, seperti halnya Saif bin Umar yang menciptakan sosok Abdullah bin Saba (dan mengarang sosok ini dengan mengambil namanya di tengah malam). Mereka melakukan hal ini untuk mencari alasan atas tuduhan palsu dan serangan mereka kepada seluruh umat Islam di dunia, sebagaimana halnya Saif dan pengikutnya melakukan hal yang sama pada keluarga Nabi Muhamrnad SAW.
Menurut para ulama Syi’ah dan Sunni, Saif bin Umar adalah salah satu orang yang memanipulasi kebenaran dan menciptakan hadis-hadis palsu berdasarkan kebenaran yang parsial. Meyakini bahwa Ibnu Sabo ada, bukan berarti meyakini cerita-cerita Saif yang berusaha mengkaitkan hal tersebut kepada Syi’ah. Faktanya adalah bahwa orang seperti Abdullah tidak bermanfaat tanpa adanya kisah yang menyebutkan namanya. Kisah-kisah palsu seputar tokoh-tokoh itu mungkinberbeda dengan keberadaan mereka yang sebenarnya. Orang seperti itu mungkin ada sedangkan kisah-kisah mengenainya mungkin tidak.
Sebuah Pandangan Mengenai Upara-upaya Saif
Artikel berikut serta artikel selanjutnya merupakan sebuah artikeI yang membicarakan tentang perbandingan antara cerita-cerita karangan Saif dan yang lain. Berikut ini sebuah pandangan mengenai cerita karp Saif bin Umar.
Saif dibayar untuk menuliskan beberapa cerita sebagai gambaran untuk pertentangan dan perseteruan yang terjadi pada awal sejarah Islam, dimulai ketika Rasulullah wafat pada 11-40 H. Cerita Saif hanya terpusal pada periode ini dan tidak pada periode selanjutnya.
Perseteruan pertama yang ia bicarakan berkaitan dengan pengutusan pasukan Usamah dan wafatnya Rasulullah. Empat hari sebelum wafatnya, Rasulullah memerintahkan seluruh kaum Anshar dan Muhajirin kecuali Ali untuk meninggalkan Madinah dan pergi menuju Suriah untuk berperang melawan pasukan Romawi. Tetapi para sahabat Nabi tidak patuh dan keberatan dengan kepemimpinan Usamah12 dan menun(H untuk bergabung dengan pasukan lalu akhirnya kembali ke Madinah, untuk melakukan perembukan tentang kepemimpinan setelah Rasul wafat. Saif menyatakan bahwa setelah Rasul wafat, ketika Abu Bakar mengutus pasukan Usamah, ia berkata kepada mereka, “Pergilah! Semoga Allah menghancurkanmu dengan membinasakanmu dan karena serangan musuh.”‘13
Padahal, perawi lain tidak pernah menyebutkan bahwa Abu Bakar mengeluarkan pernyataan seperti itu. Saif yang pendusta ingin emperolok-olok Islam dan menyenangkan penguasa saat itu.
Berikut ini mengenai Balairung Saqifah. Saif meriwayatkan bahwaAli tengah berada di rumahnya tatkala ia diberitahu bahwa Abu Bakar telah menerima sumpah setia. Kemudian ia segera keluar sambil mengenakanpakaian tidurnya karena khawatir datag terlambat. Kemudian Ia memberi sumpah setia dan duduk bersama Abu Bakar lalu meminta agar seseorang membawa pakaiannya. Ketika (pakaian itu) sampai kepadanya, Ali mengenakannya dan duduk di kelompok Abu Bakar.14
Cerita yang menggelikan ini sangat bertentangan dengan riwayat Shahih al-Bukhari di mana diriwayatkan bahwa Ali tidak memberikan sumpah setianya kepada Abu Bakar selama enam bulan pertama kepemimpinannya.15
Saif telah mengisahkan tujuh cerita tentang Saqifah, dan memasukkan tiga tokoh imajiner sebagai sahabat Nabi yang memainkan peranannya di Saqifah, yang nama-namanya tidak disebutkan di hadis manapun kecuali hadis-hadis yang diriwayatkan dari Saif sendiri. Mereka adalah Qa’qa, Mubasyir, dan Sakhr.
Legenda utamanya adalah cerita tentang Abdullah bin Saba, yang dengannya ia berusaha memecahkan pertanyaan-pertanyaan berikut; asal mula Syi’ah, persoalan pengasingan Abu Dzar, pembunuhan Utsman, dan Perang Jamal (Unta)..
Secara licik, Saif juga berusaha mengkait-kaitkan kisah Abdullah bin Saba dengan Syi’ah Ali yang menunjukkan bahwa ia tidak tahu banyak tentang Syi’ah. Apabila tidak, ia tidak akan mengarang keyakinankeyakinan yang tidak dipegang oleh pengikut keluarga Rasulullah.
Pada bagian selanjutnya, kami akan menganalisa kisah bohong Abdullah bin Saba dibandingkan dengan riwayat Sunni lainnya.16
Analisa atas Kisah Fiktif Abdullah bin Saba
Setelah pembahasan di atas, kami akan menganalisa cerita fiksi Abdullah bin Saba yang diriwayatkan Saif, dibandingkan dengan riwayat Sunni lainnya. Pertama-tama, kami akan menjelaskan secara singkat karangan-karangan Saif bin Umar mengenai Abdullah bin Saba.
Saif menyatakan bahwa seorang Yahudi dari Yaman, bernama Abdullah bin Saba (juga bernama Ibnu Amutus Sauda, putra seorang budak kulit hitam), menyatakan keislamannya pada masa kekhalifahan Utsman. Ia secara sukarela bergabung dengan kaum Muslimin dan melakukanperjalanan di kota – kota dan desa mereka dari Damaskus, Kufah hingga Mesir, menyebarluaskan bahwa Muhammad akan dibangkitkan seperti Nabi Isa kepada umat Muslim. la juga menyatakan bahwa Ali adalah pengganti Nabi Muhammad dan kedudukan mulianya direbut oleh Utsman. la menghasut Abu Dzar dan Ammar bin Yasir untuk melakukan serangan kepada Utsman dan Muawiyah. la memprovokasi kaum Muslim untuk membunuh Utsman karena ia telah merampas hak Ali. Saif juga menyatakan bahwa Ibnu Saba adalah kunci utama terjadinya perang unta. Mari kita bahas setiap peristiwa di atas satu per satu.
Bangkitnya Kembali Nabi Muhammad SAW
Saif menyatakan bahwa Abdullah bin Saba adalah orang yang mengarang gagasan bahwa Nabi Muhammad akan kembali lagi ke muka bumi sebelum Hari Perhitungan. Saif menuliskan bahwa Ibnu Saba berdasarkan karangannya berkenaan dengan kembalinya Nabi Isa berkata, “Apabila Nabi Isa akan kembali, Nabi Muhammad berarti juga akan kembali karena ia lebih utama dari pada Nabi Isa.” la menyatakan bahwa Ibnu Daba juga mengutip ayat berikut ini untuk mendukung pernyataanya, Sesungguhnya orang yang memberikan Quran kepada kalian, akan kembali. (QS. al-Qashash : 85)
Pernyataan Ibnu Saba yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad akan kembali merupakan pernyataan yang tidak masuk akal. Hal ini menunjukkan kebodohan Saif dan pengikutnya di sepanjang sejarah yang menyatakan hal demikian berulang-ulang. Mereka menyalahartikan sejarah Islam. Sekiranya orang-orang bayaran ini mempelajari sejarah Islam secara teliti, mereka pasti akan mengetahui bahwa orang pertama yang menyatakan gagasan tentang kembalinya Nabi Muhammad adalah Umar bin Khattab. Para sejarahwan Islam sepakat bahwa:
Umar berdiri di mesjid Nabi ketika Nabi wafat. la berkata, “Ada orang-orang munafik yang menyatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Tentu Rasulullah tidak wafat, tetapi ia pergi menemui Tuhannya sebagaimana Musa, putra Imran, yang pergi menemui Tuhannya (untuk menerima perintah Ilahi). Demi Allah, Muhammad akan kembali scbagaimann halnya Musa.”17
Kita tidak dapat menyatakan bahwa Umar mendapatkan gagasan ini dari Abdullah bin Saba atau orang lain. Ibnu Saba tidak pernah ada pada masa itu bahkan dalam imajinasi Saif bin Umar Tamimi, yang mengarang cerita ini. Saif menulis bahwa Ibnu Saba datang ke Madinah dan masuk Islam pada periode Utsman, yang jarak waktunya sangat jauh dengan waktu ketika Rasul wafat. Dengan demikian, apabiIa umat Islam yang meyakini hal ini, lebih logis bila dikatakan bahwa sumber gagasan tersebut adalah ucapan khalifah kedua ketika Rasulullah wafat, dan bukan gagasan Ibnu Saba. Sejarah Sunni tidak mencatat pernyataan tersebut sebelum ucapan Umar ketika Rasul wafat.
Gagasan Mengenai Ali sebagai Pengganti Rasulullah
Saif lebih jauh menyatakan bahwa Ibnu Saba adalah orang yang menyebarkan gagasan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti dan penerus Rasulullah. la mengatakan bahwa ada seribu rasul sebelum Muhammad, setiap rasul memiliki penerus, dan Ali adalah penerus Nabi Muhammad. Selain itu, Saif menyatakan bahwa Ibnu Saba berkata bahwa tiga khalifah yang akan berkuasa setelah Nabi adalah perampas kekuasaan Islam.
Saif dan pengikutnya lupa bahwa mereka menyebutkan dalam karya fiksi mereka bahwa Abdullah bin Saba datang ke Madinah dan memeluk Islam selama pemerintahan Utsman. Hal ini terjadi lama setelah Rasulullah wafat. Di sisi lain, sejarah Sunni membenarkan bahwa Rasulullah sendiri adalah orang yang menyatakan bahwa Ali adalah penerusnya sejak saat ‘misi pertamanya’ dimulai. Berikut ini hadis mengenai khutbah pertama Rasul.
Ali meriwayatkan, ketika ayat ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat dekatmu’ diturunkan Rasulullah memanggilku dan berkata “ Ali sesungguhnya Allahmemerintahkan kepadaku agarmemberi peringatan kepada keluarga terdekatku dan aku merasa kesulitan dengan tugas ini. Aku tahu bahwa ketika aku berhadapan dengan mereka membawa peringatan ini, aku tidak akan menyukai jawaban mereka.” Kemudian Rasulullah mengundang keluarga dari kaumnya untuk makan malam bersamanya dengan sedikit hidangan dan susu. Di sarta ada empat puluh orang. Setelah mereka makan, Rasulullah bersabda kepada mereka, “Wahai Bani Abdul Muththalib! Demi Allah, aku tidak tahu apakah ada seseorang dari bangsa Arab yang membawa sesuatu kepada umatnya lebih baik dari yang aku bawa untuk kalian. Aku membawa kebaikan dunia ini dan dunia akhirat. Allah memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian. Barangsiapa yang akan membantuku dalam misi ini ia akan menjadi saudaraku, pewarisku, dan penerusku.”
Tidak seorangpun menerima ajakan Rasul, dan aku (Ali) berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan menjadi pembantumu.” Rasul memegang tengkukku dan berkata kepada mereka, “Ini adalah saudaraku, pewaris (washi), dan penerus (pemimpin) di antara kalian. Oleh karena itu, dengarkanlah dia dan taatilah dia!” Mereka tertawa sambil berkata kepada Abu Thalib, “Ia (Muhammad) memerintahkanmu untuk mendengar anakmu dan menaatinya.”18
Berikut ini kami ingin mengemukakan pertanyaan. Ali meriwayatkan bahwa Rasulullah adalah orang yang memberinya kedudukan sebagai penggantinya, keluarganya, dan kepemimpinan. Saif bin Umar meriwayatkan bahwa gagasan tersebut berasal dari orang Yahudi bernama Abdullah bin Saba. Riwayat siapakah yang perlu dipercaya? Riwayat Ali ataukah Saif bin Umar? Riwayat Saif dianggap oleh para ulama Sunni terkemuka sebagai riwayat yang lemah, dusta, dan fitnah.
Tentu saja, kita tidak berharap ada orang Islam sejati manapun untuk memilih riwayat seorang pendusta seperti Saif bin Umar dan menyangkal riwayat Ali bin Abi Thalib, pemimpin orang-orang beriman, “saudara” Rasulullah. Rasulullah sering berkata kepada Ali, “Kedudukanmu bagikuseperti Harun bagi Musa, kecuali bahwa tidak ada Nabi setelahku”19
Dengan demikian, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW adalah sebagaimana Musa mengangkat Harun untuk mengurusi umatnya sebagai khalifah ketika ia pergi untuk menerima perintah dari Tuhannya, Nabi Muhammad juga mengangkat Ali untuk mengurusi semua persoalan Islam setelah ia wafat. Allah berfirman, ...dan Musa berkata kepada saudaranya, Harun, “Ambillah tempatku di antara umatku!” (QS. al-A’raf : 142)
Perhatikanlah bahwa kata ukhlufni dan khalifah berasal dari akar kata yang sama.
Apakah para penulis bayaran yang berusaha menyebarkan kebencian di tengah umat Islam lupa bahwa ketika kembali dari haji perpisahan, dan di hadapan lebih dari seratus ribu jamaah haji di Ghadir Khum, Nabi Muhammad SAW mengumumkan, “Bukankah aku memiliki hak yang lebih besar atas orang-orang beriman daripada hak mereka sendiri?” Mereka berseru, “Benar, wahai Rasulullah!” Kemudian Rasulullah mengangkat lengan Ali dan berkata, “Barangsiapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, Ali adalah pemimpinnya juga. Ya Allah, cintailah mereka yang mencintainya, bencilah mereka yang membencinya!”20
Tidak ada umat Islam manapun yang ragu bahwa Rasulullah adalah pemimpin semua umat Islam di dunia sepanjang masa. Dalam perkataannya, Rasulullah memberi kedudukan yang sama kepada Ali dengan kedudukannya, ketika ia berkata bahwa Ali adalah pemimpin setiap orang yang mengikuti Rasulullah.
Pernyataan yang diriwayatkan lebih dari seratus perawi dan sepuluh sahabat, lalu dianggap shahih dan mutawatir oleh para ulama Sunni terkemuka, tidak hanya menunjukkan bahwa Ali adalah pewaris Rasulullah, tetapi juga menunjukkan bahwa Ali menjadi pengganti kepemimpinan seluruh umat Islam setelah Rasulullah. Tetapi, orang-orang gadungan ini masih mengatakan bahwa keyakinan bahwa Ali adalah pewaris Rasulullah berasal dari seorang Yahudi yang masuk Islam ketika Utsman menjadi khalifah.
Abdullah bin Saba tidak memiliki peranan pada perseteruan yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah berkaitan dengan penerusnya dan semua pernyataan Syi’ah yang benar terbuktiterjadi ketika Rasulwafat atau bahkan sebelum wafatnya Rasul, tetapi bukan terjadi selama Utsman memerintah, yang artinya terjadi lama setelah Rasul wafat. Baru saja Rasul wafat dan tak lama setelah itu, Syi’ah Ali, meliputi para sahabat yang setia seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar Ghifari, Miqdad, Salman Farisi, Ibnu Abbas, dan lain-lain, yang berkumpul di rumah Fathimah. Bahkan Thalhah dan Zubair yang setia kepada Ali pada awalnya juga bergabung dengan para sahabat lain di rumah Fathimah. Bukhari meriwayatkan bahwa Umar berkata, “Dan tidak diragukan bahwa setelah Rasul wafat, kami diberitahu bahwa kaum Anshar tidak setuju dertgan kami dan berkumpul di Balairung Bani Sa’da. Ali dan Zubair dan mereka yang bersamanya, menentang kami, sedangkan kaum muhajirin berkumpul bersama Abu Bakar.”21
Perawi hadis lairmya meriwayatkan bahwa pada hari Saqifah Umar berkata, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam beserta orang-orang yang bersama mereka memisahkan diri dari kami (dan berkumpul) di rumah Fathimah, putri Rasulullah.”22
Selain itu, mereka meminta sumpah setia, tetapi Ali dan Zubair pergi. Zubair menghunus pedang (dari sarungnya) sambil berkata, “Aku tidak akan menyarungkan pedang ini hingga sumpah setia diberikan kepada Ali.” Ketika berita ini sampai kepada Abu Bakar dan Umar, Umar berkat;), “Lempar ia dengan batu dan rampas pedangnya!” Diriwayatkan bahwa Umar bergegas (ke pintu rumah Fathimah) dan memaksa mereka keluar sambil berkata kepada mereka bahwa mereka harus memberikan sumpah setianya secara sukarela atau secara paksa.23
Tentu saja, di sini orang Yahudi tidak memiliki peran dalam perpecahan sahabat ke dalam dua kelompok tak lama setelah Rasul wafat, sejak ia tidak ada pada saat itu.
Penyerangan Terhadap Dua Orang Sahabat Setia Rasulullah dan Pengikut Mereka
Saif menyatakan bahwa Ibnu Saba adalah salah satu penyulut perpecahan sahabat Rasulullah, Abu Dzar dan Ammar bin Yasir, melawan Utsman. Ia berkata bahwa orang Yahudi ini menemui Abu Dzar di Damaskus dan bahwa ia mengenalkan ide pelarangan menyimpan emas dan perak. Saif menyebut juga sahabat-sahabat terkemuka lain dan pengikut mereka, di antara mereka yang disebutkan Ibnu Saba; Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Muhammad bin Abu Bakar, Malik Asytar, dan banyak 1agi.
Untuk lebih memahami fitnah yang dibuat Saif beserta pernyataannya, mari kita melihat kembali biografi pemuka-pemuka Islam ini.
Abu Dzar Ghifari
Dia merupakan orang ketiga yang tertulis dalam empat pemuka Islam yang pertama memeluk Islam. la telah menjadi orang yang meyakini Allah sebelum masuk Islam. Secara terus terang ia menyatakan keimanannya kepada Islam di Mekkah di sisi Rumah Allah. Orang-orang kafir Mekkah memukulinya hingga hampir meninggal tetapi ia bertahan hidup, dan atas perintah Rasulullah, ia kembali ke sukunya. Setelah perang Badar dan Uhud, ia datang ke Madinah dan berada di sisi Rasulullah hingga wafatnya Rasul. Pada masa pemerintahan Khalifah pertama, Abu Dzar dikirim ke Damaskus. Di sana ia tidak setuju dengan Muawiyah. Kemudian Muawiyah mengeluh tentang Abu Dzar kepada Utsman, dan khalifah ketiga tersebut mengasingkan Abu Dzar ke Rabadhah, tempat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Rabadhah terkenal dengan iklimnya yang ganas.
Ammar bin Yasir
Ia dikenal juga dengan nama Abu Yaqzan. Ibunya adalah Sumayah. Dia beserta orangtuanya adalah pelopor yang memeluk Islam, dan ia adalah orang ke tujuh yang menyatakan keislamannya. Orangtuanya dibunuh setelah disiksa oleh orang-orang kafir Mekkah karena memeluk Islam. Tetapi Ammar berhasil melarikan diri ke Madinah. Ammar berperang di barisan pasukan Ali di perang Jamal dan kemudian di perang ShiHin di mana ia terbunuh oleh pasukan Muawiyah pada usianya yang ke 93 tahun.
Muhammad Ibnu Abu Bakar
Dia diangkat oleh Ali sebagai anaknya setelah ayahnya, Abu Bakar, wafat. Muhammad adalah salah satu pemimpin pasukan Ali di Perang Unta. la juga pemimpin pasukan di perang Shiffin. Ali mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, dan ia menerima jabatan itu pada 15/9/37 11. Kemudian, Muawiyah mengirim pasukan di bawah Amru bin Ash kr Mesir pada tahun 38 H, yang menyerang dan menangkap Muhammad, kemudian membunuhnya. Tubuhnya dimasukkan ke perut keledai dan membakarnya dengan kejam.24
Malik Asytar Nakha’i
la bertemu Rasulullah dan merupakan salah satu murid sahabat yang setia. la adalah pemimpin di sukunya dan setelah salah satu matanya buta di Perang Yarmuk, ia dikenaI sebagai Asytar. Dia adalah jendral pasukan Ali di perang Shiffin dan terkenal oleh keberaniannya dan menyerang musuh Islam. Pada usia 38 tahun, ia diangkat Ali sebagai gubernur Mesir. Tetapi dalam perjalanannya ke Mesir, di dekat Laut Merah, ia wafat setelah meminum madu beracun yang telah direncanakan Muawiyah.
Biografi di atas hanyalah riwayat singkat beberapa pelopor umat Islam terkemuka. Disayangkan bahwa beberapa sejarahwan yang meriwayatkan hadis dari Saif, menyatakan bahwa mereka pengikut seorang Yahudi yang misterius. Orang-orang bayaran tidak segan-segan menyerang sahabat-sahabat Rasul yang terkenal itu. Mereka berkata bahwa Abu Dzar dan Ammar bin Yasir bertemu Ibnu Saba. Mereka terpengaruh oleh propagandanya, kemudian berbalik menentang Utsman. Tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa fitnah yang mereka lancarkan kepada dua sahabat terkemuka tersebut secara tak langsung juga menyerang Rasulullah yang membuktikan kesucian dan keimanan mereka.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, Allah memerintahkanku untuk mencintai empat orang dan memberitahuku bahwa la mencintai mereka “ Para sahabat Rasul berkata; “Wahai Rasulullah, siapakah mereka ?” Rasulullah menjawab,”Ali (Rasul menyebut namanya sebanyak tiga kali). Abu Dzar, Salman Farisi dan Miqdad. 25
Rasulullah juga berkata, “Setiap Rasul diberi Allah tujuh orang sahabat. Aku dianugerahi empat belas orang sahabat setia.” Rasulullah menyebutkan bahwa mereka adalah Ali, Hasan, Husain, Hamzah, Ja’far, Ammar bin Yasir, Abu Dzar, Miqdad, dan Salman.26
Selain itu, Tirmidzi, Ahmad, Hakim danbanyak lainnya meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Langit tidak akan memayungi dengan awannya, dan bumi tidak akan menopang dengan tanahnya seseorang yang lebih tegas dari pada Abu Dzar. la berjalan di muka bumi ini dengan sifat akhirati Nabi Isa, putra Maryam.27
Ibnu Majah, dalam kitab Sunan-nya yang shahih meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Aku tengah duduk di rumah Rasulullah dan Ammar ingin bertemu dengannya. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Selamat datang wahai orang yang saleh dan yang disucikan.”‘ Ibnu Majah juga meriwayatkan bahwa Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika Ammar diberi dua pilihan, ia selalu memilih satu yang paling baik.”
Masih banyak riwayat shahih lainnya yang dinyatakan Rasulullah mengenai Ammar, seperti bahwa Ammar dipenuhi oleh keimanan. Rasulullah juga berkata, “Sekelompok pemberontak akan membunuh Ammar.”28
Berikut ini, mari kita lihat siapa para pemberontak itu. Mari kita lihat Musnad Ahmad dan Tabaqat ibn Sa’d yang meriwayatkan bahwa di perang Shiffin, ketika kepala Ammar Yasir dipenggal dan dibawa ke hadapan Muawiyah, dua orang saling berdebat, saling menuduh bahwa dia lah yang telah membunuh Ammar.29 Selain itu, diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Surga sangat merindukan tiga orang; Ali, Ammar, dan Salman.”30
Tirmidzi meriwayatkan juga, bahwa ketika Rasulullah mendengar bahwa Ammar dan keluarganya disiksa di Mekkah, beliau berkata, “Wahai keluarga Yasir, bersabarlah! Tempat kembali kalian adalah surga.31
Dengan demikian, Ammar dan orangtuanya adalah orang-orang pertama yang disebut Rasulullah sebagai penghuni surga. Kita dapat mengatakan bahwa ketika seorangMuslim mengetahui bahwa Rasul telah mengangkat kedudukan dua orang sahabat besar (Abu Dzar dan Ammar bin Yasir) dengan begitu tinggi, dan apabila ia adalah seorang yang ; beriman kepada Nabi Muhammad, ia tidak akan menghina kedua sahabt ini. Penghinaan ini tentunya juga menghina Nabi Muhammad. Superti yang baru saja kita lihat, hadis-hadis shahih dalam koleksi Hadis Sunni menyatakan bahwa Nabi Muhammad berkata bahwa ia hanya memiliki empat atau empat belas sahabat setia, dari 1400 sahabatnya. Menariknya, Abu Dzar dan Ammar bin Yasir disebutkan di antara sahabat-sahabat yang jumlahnya sangat sedikit itu.
Kita mengetahui bahwa kebencian Saif bin Umar Tamimi, yang hidup pada abad kedua setelah Rasulullah wafat, dan kebencian para pengikutnya kepada Syi’ah, mendorong mereka menyebarkan propaganda seperti itu. Saif mengetahui bahwa menyebutkan pemberontakan terhadap Utsman adalah karya Ibnu Saba, bertolak belakang dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa dua sahabat Rasul, yakni Abu Dzar dan Ammar, menentang kepemimpinan Utsman. Karena Saif mengetahui ketidaksetujuan mereka kepada Utsman, ia berusaha menjatuhkan nama baik mereka dengan menambahkan nama dua sahabat terkemuka Nabi itu ke dalam pengikut orang Yahudi yang tidak pernah ada.
Apabila Ibnu Saba ada, ia telah menyatakan keislamannya setelah Utsman terbunuh. Sekarang, andaikan kita menerima pernyataan Saif bahwa Abdullah bin Saba menyatakan keislamannya setelah Utsman memerintah, Abu Dzar dan Ammar bin Yasir, di pihak lain, telah menentn ng kekhalifahan Utsman sebelum ia menjadi khalifah. Dua sahabat tersebut adalah pengikut Ali bin Abi Thalib dan meyakini bahwa Ali diangkat Rasulullah menjadi penerusnya. Karena ini adalah keyakinan mereka sebelum Ibnu Saba muncul, kisah Saif bahwa mereka dipengaruhi oleh Ibnu Saba, tidak berdasar dan dusta.
Lalu, untuk membersihkan khalifah ketiga dari semua tuduhan berkenaan dengan ketidakmampuannya mengatur kas negara, Saif menuduh para pemberontak itu sebagai pengikut Ibnu Saba. Kemudian ia melengkapi kisahnya dengan menambahkan dua sahabat ke dalam daftar pengikut Ibnu Saba, secara sengaja mengabaikan fakta bahwa dua sahabat tersebut adalah murid-murid pertama Nabi Muhammad SAW. Mereka adalah beberapa dari sahabat-sahabat terkemuka yang dihormati oleh Rasulullah SAW. Sebenarnya, Saif didorong oleh kisah-kisah bohong untuk menolak kesaksian Nabi Muhammad. Dengan ini, Saif telah menyangkal seluruh cerita.
Penyerangan terhadap Utsman
Saif menyatakan bahwa penyebab utama di balik penyerangan terhadap Utsman adalah Abdullah bin Saba. la menghasut umat Muslim dari berbagai kota dan propinsi seperti Bashrah, Kufah, Suriah, dan Mesir, untuk bergegas ke Madinah dan membunuh Utsman karena ia percaya bahwa Utsman telah merampas hak Ali. Saif juga menyatakan bahwa para sahabat seperti Thalhah dan Zubair yang ada di Madinah tidak menentang Utsman.
Sama halnya dengan pernyataan ini, pernyataan Saif bin Umar mengenai Abdullah bin Saba tidak pernah diriwayatkan oleh perawi manapun. Tidak ada catatan mengenai Ibnu Saba yang dapat dilacak mengenai penyerangan terhadap Utsman, kecuali melalui Saif. Sedangkan, sanad-sanad lain memiliki riwayat yang sangat bertolak belakang dengannya.
Sekiranya para pembaca sejarah Islam terbebas dari emosinya terhadap khalifah ketiga, para pembaca dapat mengetahui bahwa seruan untuk melakukan pemberontakan terhadap Utsman tidak dimulai di Bashrah, Kufah, Suriah, atau Mesir. Kelemahan Utsman menangani urusan negara menyebabkan banyak sahabat menentangnya. Hal ini tentu saja menyebabkan pergolakan kekuatan di kalangan para sahabat yang berpengaruh di Madinah. Beberapa sejarahwan Sunni seperti Thabari, Ibnu Atsir, dan Baladzuri serta banyak sahabat lainnya meriwayatkan hadis-hadis (yang diriwayatkan oleh selain Saif ) yang menegaskan bahwa penyerangan terhadap khalifah dimulai dari dalam Madinah oleh beberapa. sahabat penting. Mereka adalah orang yang pertama kali meminta para sahabat lainnya yang bermukim di kota – kota lain untuk bergabung menyerang Utsman bersama mereka. Ibnu Jarir Thabari meriwayatkan. :
Ketika orang – orang melihat apa yang dilakukan Utsman, para sahabat Nabi di Madinah menulissurah kepadasahabat lainnya yang terpencar di propinsi – propinsi lain, “Kalian telah berjuang di jalan Allah, demi agama Muhammad. Setelah kaliantiada, agamaMuhammad telah dirusakdan ditinggalkan oleh akrena itu kembalilah tegakkankembali agama Muhammad “ Lalumereka berdatangan daris etiappelosok hingga merekamembunuhKhalifah (Utsman).32
Sebenarnya Thabari mengutip paragraf di atas dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar Madani yang merupakan sejarahwan Sunni terkemuka dan penulis buku Sirah Rasulullah. Sejarah (yang ditulis oleh selain Saif ) membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki pengaruh ini merupakan kunci utama penyerangan terhadap Utsman, di antaranya; Thalhah, Zubair, Aisyah (ibu kaum mukminin), Abdurrahman bin Auf, dan Amru bin Ash.
ThalhahThalhah bin Ubaidillah adalah salah satu penghasut utama penyerangan terhadap Utsman dan yang merancang pembunuhan terhadapnya. Kemudian ia memanfaatkan kejadian tersebut untuk membalas dendam kepada Ali dengan memulai perang saudara yang pertama kali di sejarah Islam (Perang Unta). Berikut ini beberapa paragraf yang diambil dari Thabari dan Ibnu Atsir mengenai peristiwa tersebut. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (dalam beberapa naskah disebutkan berasal dari Ibnu Ayash):
Aku memasuki kediaman Utsman (ketika terjadi serangan terhadapnya) dan bercakap-cakap selama satu jam. la berkata, “Masuklah Ibnu Abbas/Ayash!” Kemudian ia menggandeng tanganku dan akti mendengar orang-orang berteriak-teriak di depan pintunya. Kami mendengar beberapa mereka berkata, “Apa yang kalian tunggu?” Sedang yang lain berkata, “Tunggu, mungkin ia akan bertobat!” Kami berdua berdiri dibelakangpintu sambilmendengarkan mereka. Thalhah bin Ubaidillah melintas dan berkata, “ Dimana Ibnu Udais ?” Seseorang menjawab, “ Ia ada disana.”” Ibnu Udais mendekati Thalhah dan membisikkan sesuatu kepadanya, kemudian kembali kepada kelompoknya dan berkata, “Jangan biarkan seorang pun masuk (ke rumah Utsman) untuk menemuinya atau meninggalkan rumahnya!” Utsman berkata kepadaku, “Itu adalah perintah Thalhah!” la melanjutkan, “Ya Allah, lindungilah aku dari Thalhah karena ia telah menghasut agar semua orang memerangiku! Demi Allah, aku berharap tidak akan terjadi sesuatu dan darahnya akan bersimbah. Thalhah telah menyiksaku tanpa hak. Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Darah seorang Muslim itu halal untuk tiga perkara; kekafiran, perzinahan, dan orang yang membunuh orang lain tanpa hak.’ Lalu apa alasannya sehingga aku harus dibunuh?”
Ibnu Abbas/Ayash melanjutkan, ‘Aku ingin pergi (dari rumah itu), tetapi mereka menghalangi jalanku hingga Muhammad bin Abi Bakar yang melintas meminta mereka untuk melepaskan aku. Dan mereka pun melepaskan aku.”33
Pernyataan Saif tidak berguna dibandingkan dengan riwayat lain yang sama dengan riwayat di atas. Riwayat di atas membuktikan bahwa Utsman sendiri mengetahui sahabat seperti Thalhah melakukan semua itu kepadanya, dan bukan Abdullah bin Saba. Apakah penulis bayaran ini menyatakan bahwa mereka lebih memahami situasi saat itu daripada khalifah Utsman, sedang mereka dilahirkan pada tahun-tahun setelah peristiwa tersebut? Riwayat berikut ini juga mendukung bahwa pembunuhan Utsman dipimpin oleh Thalhah, dan para pembunuhnya keluar untuk memberi tahu pemimpin mereka bahwa mereka telah membereskan Utsman.
Abzay menyatakan, ‘Aku menyaksikan saat-saat mereka masuk menyerang Utsman. Mereka masuk melalui sebuah pintu di kediaman Amar bin Hazm. Terdengar pertempuran kecil dan mereka masuk. Demi Allah, aku tidak lupa ketika Sudan bin Humran keluar dan ia berkata, ‘Di mana Thalhah Ibnu Ubaidillah? Kami telah membunuh Ibnu Affan!”‘34
Utsman dikepung di Madinah ketika Ali bin Abi Thalib berada di Khaibar. Ali tiba di Madinah dan melihat orang -orang berkerumun di rumah Thalhah.Kemudian Ali pergi menemui Utsman. Ibnu Atsir menulis :
Utsman berkata kepada Ali, “Engkau berhutang hak keislamanku dan hak persaudaraan serta kekerabatan. Sekiranya aku tidak memiliki Itak ini dan apabila aku berada di zaman jahiliyah, tidaklah pantas bagi keturunan Abdul Manaf (nenek moyang Ali dan Utsman) untuk membiarkan seorang lelaki dari bani Tyme merampas hak kita.” Ali berkata kepada Utsman, “Akan kuberitahu apa yang akan aku lakukan.” Kemudian Ali pergi ke rumah Thalhah. Di sana sudah berkumpul banyak orang. Ali berkata kepada Thalhah, “Thalhah, apa yang membuatmu melakukan hal ini?” Thalhah menjawab, “Wahai Abu Hasan! Semuanya sudah terlambat!”35
Thabari juga meriwayatkan percakapan berikut antara Ali dan Thalhah ketika terjadi pengepungan terhadap Utsman, Ali berkata kepada Thalhah: “Aku memintamu atas nama Allah untuk menghentikan orang-orang menyerang Utsman.” Thalhah menjawab, “Tidak, demi Allah, tidak hingga Bani Umayah itu secara sukarela menyerahkan diri.” (Utsman adalah pemimpin Bani Umayah)36
Thalhah bahkan menghentikan pasokan air kepada Utsman. Abdurrahman bin Aswad berkata, ‘ Aku melihat Ali menghindari (Utsman ) dan tidak berbuat seperti yang telah ia lakukan sebelumnya. Tetapi, aku tahu bahwa ia berbicara dengan Thalhah ketika Utsman dikepung, sehingga persediaan air tidak diberikan kepadanya. Ali sangat kecewo terhadap Thalhah mengenai hal itu hingga akhirnya air diberikan kepada Utsman.”37
Untuk mengetahui mengapa Ali bin Abi Thalib meninggalkan Utsman, perhatikan hadis pada akhir artikel ini.
Selain itu, para sejarahwan menegaskan bahwa mereka yang merencanakan pembunuhan Utsman tidak mengizinkan jenazahnya dikubur di pemakaman muslim. Akhirnya ia dikubur di pekuburan orang Yahudi bernama Hasysy Kawkab, tanpa memandikannya dan tanpa mengkafaninya.38 Apabila orang – orang Yahudi itu tahu, mereka tidak akan mengizinkan Utsman dikubur di wilayah mereka. Setelah Muawiyah berkuasa, ia menggabungkan daerah perkuburanYahudi hinggaBaqi juga wilayah di antara keduanya.39
Aisyah
Thalhah bukan satu-satunya orang yang bergabung memerangi Utsman. Sejarah Sunni menyatakan bahwa sepupunya, Aisyah (ibu kaum mukminin) juga bekerja sama dan berkampanye memerangi Utsman. Paragraf berikut ini juga berasal dari sejarah Thabari menunjukkan kerja sama antara Aisyah dan Thalhah dalam menggulingkan Utsman.
Ketika Ibnu Abbas akan pergi ke Mekkah, ia melihat Aisyah di Sulsul (tujuh mil di selatan Madinah). Aisyah berkata, “Wahai Ibnu Abbas, aku mengajakmu karena Allah, untuk menyingkirkan orang ini (Utsman) dan sebarkanlah keraguan tentang orang ini kepada umat, karena engkau telah dikaruniai lidah yang fasih. (Dengan pengepungan terhadap Utsman) umat mengerti dan cahaya akan membimbing mereka. Aku melihat Thalhah telah memegang kunci harta Baitul Mal. Apabila ia menjadi Khalifah (setelah Utsman) ia akan mengikuti jalan yang ditempuh nenek moyang dari sepupu ayahnya, Abu Bakar.” Ibnu Abbas berkata, “Wahai Ibu (kaum mukminin), apabila sesuatu terjadi dengannya (Utsman), orang-orang akan mencari perlindungan hanya kepada sahabat kami (Ali).” Aisyah menjawab, “Diamlah! Aku tidak ingin berdebat denganmu.”40
Banyak sejarahwan Sunni meriwayatkan bahwa Aisyah pernah pergi menemui Utsman dan meminta bagian warisan dari Rasulullah (setelah bertahun-tahun berlalu sejak kematian Rasul). Utsman tidak memberi Aisyah uang sepeserpun sambil mengingatkannya bahwa ia adalah salah satu orang yang memberi kesaksian dan mendorong Abu Bakar untuk tidak memberi bagian warisan Fathimah. Lalu, apabila Fathimah tidak mendapat warisan, mengapa ia dapat? Aisyah menjadi sangat marah kepada Utsman, ia keluar sambil berkata, “Bunuh orang tua bodoh ini (Na’thal), karena ia telah kafir.”41
Seperti yang kita lihat, tokah-tokoh utama yang merancang penyerangan terhadap Utsman adalah orang-orang yang sangat berpengaruh, seperti Thalhah dan Aisyah. Riwayat-riwayat Sunni ini bertentangan dengan riwayat yang berasal dari Abdullah bin Saba, yang dibuat untuk menutupi orang-orang ini berabad-abad lamanya setelah peristiwa itu. Sejarahwan Sunni lainnya, Baladzuri, dalam kitab sejarahnya (Ansab al-Asyraf) berkata bahwa ketika situasi semakin genting, Utsman memerintahkan Marwan bin Hakam dan Abdurrahman bin Attab bin Usaid untuk mencoba membujuk Aisyah agar berhenti berkampanye menentangnya. Mereka menemui Aisyah ketika ia sedang bersiap-siap berangkat untuk menunaikan haji. Mereka berkata kepadanya:
“Kami berdoa agar engkau tinggal di Madinah, dan agar Allah menyelamatkan orang ini (Utsman) melalui engkau.” Aisyah berkata, “Aku telah bersiap-siap pergi dan berjanji akan berhaji. Demi Allah, aku tidak akan mengabulkan permintaanmu...Aku berharap Utsman ada dalam salah satu tasku sehingga aku dapat membawanya. Kemudian, aku akan melemparkannya ke laut!”42
Tentu saja, revolusi melawan Utsman ‘dimulai’ di Madinah, dan bukan di Bashrah, Kufah, atau Mesir. Orang-orang penting di Madinah adalah mereka yang pertama kali menulis surah kepada orang-orang yang berada di luar Madinah dan menghasut mereka untuk memerangi Utsman. Apabila kita mengatakan bahwa seorang Yahudi, bernama Ibnu Saba, adalah orang yang menghasut orang-orang untuk memberontak, hal ini tidak logis kecuali jika kita menerima bahwa ia adalah orang yang menghasut Aisyah, Thalhah, dan Zubair untuk memberontak. Tetapi orang-orang yang menyebutkan tentang Ibnu Saba dan, keterlibatannya, tidak memasukkan Aisyah dan orang-orang yang sederajat dengannya sebagai pengikut Ibnu Saba.
0 comments:
Post a Comment